Tidak terasa sudah sekitar 10 tahun lamanya punya relationship sama yang namanya 10 malam terakhir di bulan Ramadhan. Diawali di tahun 2002, bahkan sih sebelumnya tapi saya anggap saja sejak SMA mulainya. Sampai kini di tahun 2012 dimana sudah berstatus double.
Sejak diterangkan tentang pahala itikaf juga tentang lailatul qodar, saya pun merasa sangat merugi jika melewatkan 10 malam terakhir ini dengan hanya tidur di rumah. Buat yang belum tahu, itikaf itu dimaknai berdiam diri di mesjid. Bagi muslim yang mengimani Rosulnya, beliau mencontohkan untuk berdiam diri di mesjid pada 10 malam terakhir. Sedangkan lailatul qodar adalah satu malam dimana malam itu lebih baik dari 1000 bulan atau kurang lebih jika setahun ada 12 bulan makan 1000 bulan sama dengan 83.333 tahun. Jadi saat itu semua amalan akan dilipat gandakan jadi 1000 kali pahalanya. Sholat 2 rakaat sama seperti sholat 2 rakaat berturut-turut selama 83.333 tahun. Wow banget kan. Dan hati-hati juga kalau berbuat dosa. 😛
Saya bilang romantis karena jika diingat-ingat selama 10 tahun kebelakang, di masa-masa ini (10 malam terakhir) selalu ada nuansa tersendiri di mesjid yang ramai orang beritikaf. Waktu jaman muda-mudi misalnya, jam 12an itu biasanya diminta amal sholih untuk mencuci piring dan jelas. Jadilah kami berdingin-dingin ria ramai-ramai bekerja sama untuk menyelesaikan tumpukan piring dan gelas kotor. Rame.
Juga ketika itu lebih sering untuk sahur di mesjid, mendapat jatah dari bekal yang dibawa ibu-ibu atau bapak-bapak yang itikaf. Walaupun dengan lauk dan nasi yang lebih sering dimakan dalam keadaan dingin, tetep nikmatnya. Sampai sholat subuh bareng dan ketiduran bareng baru bangun ketika waktu dhuha. 😀
Suasana 10 malan terakhir diantara orang-orang yang berlomba untuk mencari pahala di waktu itu sungguh susah digambarkan. Bisa jadi tadarus berjuz-juz Al-Quran tak terasa lelah diantara riuh rendah semua orang yang masing-masing mengejar target bacaannya. Dan jangan lupa sholat-sholat sunnah yang dikerjakan, sholat malam sampai dengan sholat tasbih yang rugi jika tidak dikerjakan.
Kini suasananya masih sama, yang berbeda adalah saya yang siangnya harus bekerja dan juga sekarang bawa gandengan si nyonya. Jika dulu pergi bareng-bareng bersama kakak-kakak, naik motor bonceng bertiga karena motornya cuman satu sedangkan kita yang ke mesjid ada 3 orang. Kalau pulau satu motor bisa berempat karena ada teman yang biasanya mampir dulu ke rumah. Dan dulu jalanan masih jelek dan sepi, rame lah motor-motoran di jam 2-3 pagi buta. Dinginnya itu udah berasa kaya ga pake kulit ni badan.
Dengan siangnya bekerja (oh saya rindu masa sekola di jaman Gus Dudur) kini saya pun harus pintar-pintar mengatur waktu. Dulu bisa begadangan ga tidur, kalau kini pulang kerja bisa jam 8-9 malam. Istirahat sebentar, bisa tidur dulu sekitar 1 jam lalu pergi ke mesjid. Terjaga sampai dini hari dan jam 2-3 sudah pulang karena nyonya harus masak buat sahur. Jadilah 10 malam terakhir kian menantang, sehari paling bagus tidur 3 jam. Tapi tak apa-apa. Jika ramadhan ini adalah sebuat marathon makan 100 meter menjelang finish saya harus sprint sekencang-kencangnya, biar menang di garis akhir, yaitu Idul Fitri, 1 Syawal. 😀
terima kasih sudah di share min
cerita nya menginspirasiii
izin di bagi lagi ke orang banyak min
Silakan juga 🙂
terima kasih sudah di share cerita ini min
cerita nya menginspirasiii sekali
Mbah man?
cerita yang sangat menarik